Say goodbye Agust
Kata orang, usia muda adalah kesempatan emas untuk memperluas relasi dan membentuk diri menjadi “seseorang”. Selama ini aku selalu sibuk mencari validasi sampai lupa caranya menikmati masa muda. Aku baru tahu dengan seiring berjalannya waktu di usia yang menginjak dewasa ternyata fokusku terpecah, kadang tentang orang tua, kadang tentang masa depan, kadang tentang diri sendiri. Aku ingin menjadi apa, aku harus apa, aku siapa adalah permasalahan yang tak kunjung selesai. Banyak kata orang yang aku ikuti, gambaran sukses yang orang lain raih semuanya hampirku jadikan patokan untuk hidupku.
Kota dengan
kesultanannya, kota yang kaya akan adat juga budaya, kota yang terkenal akan
banyaknya wisatawan luar serta keramahannya. Jogja adalah kota impian yang
sangat ingin kusinggahi lama. Kedisiplinannya, kedamaiannya, dan keramahannya
adalah bentuk nyata dari makna kata istimewa dari kota kecil ini. Suatu
kesempatan besar bisa menikmati kehidupan kota Jogja, sebetulnya tidak ada yang
berbeda dengan rumah di desaku, namun aktifitasnya dan suasananya yang
menurutku sedikit berbeda. Ntah apa yang membuat beda, perasaan ini tidak bisa
dideskripsikan.
Senja selalu mengudara
di langit Jogja karna keindahaannya ku beranikan diri untuk menyusuri titik nol
sendiri, menikmati perubahan langit dan memandangi arsitek bangunan kuno modern
di setiap jalanan. Aku menghirup nafas dalam, menikmati sembari membuang
pikiran-pikiran negative di beberapa minggu terakhir ini.
“Jangan takut gagal, jatuh berdiri, luka obati, muda
berkelana agar nanti ketika menjadi tua banyak hal yang perlu diceritakan.”
Batinku untuk diriku sendiri. Rasa menyerah dan ingin pulang sering aku rasakan
di beberapa minggu yang lalu. Adaptasiku masih perlu maksimal, aku perlu terus
berusaha menurunkan keinginanku, mencoba meraba serta menjaga agar tidak
menyakiti hati orang lain.
“Mbak, di sini
sendiri?” tanya wanita yang duduk disampingku. Saat sedang melihat langit, datang
dua orang perempuan cantik menghampiriku, ia berdiri di samping kiri.
“Iya, Mbak.” Jawabku
melihat tatapan wanita yang baru ia kenali.
“Numpang duduk di sini
ya, Mbak” katanya, tanpa menunggu jawabanku mereka segera duduk disampingku
dengan temannnya. Aku hanya mengangguk dan memberikan senyuman sebagai jawaban
atas ucapannya tadi.
Situasi titik nol
semakin ramai, langit mulai menggelap dan lampu-lampu mulai menyala. Suasana
semakin hidup karna udara yang sejuk disertai dengan iringan musik gamelan.
Ditengah keramaian, aku
melihat berbagai macam orang yang berlalu lalang. Ada yang menikmati sore hari
dengan berlari, ada yang bersenda gurau dengan pasangannya, pun tidak sedikit
yang menikmati senja sendiri sepertiku. Saatku melihat orang-orang yang
bersenda gurau dengan pasangannya rasanya aku juga ingin merasakan itu, tapi ah
sudah lah itu hanya keinginanku saja. Lagi pula itu hal biasa yang selalu
dipikirkan di usiaku saat ini.
“Mbak, lagi nunggu
acara ini?” tanyaku pada mereka, kebetulan di titik nol sedang ada event pentas
budaya dari ikatan mahasiswa provinsi Kalimantan Timur. Mereka menggalang dana
untuk korban kebakaran di daerah Kutai Barat. Cara mereka menggalang dana
sangat patut diapresiasi, kreativitasnya, dan keberanian mereka tampil dimuka publik
adalah hal yang sangat jarang terjadi. Mereka hebat dan mereka berani untuk
membantu saudara-saudaranya di sana.
“Iya mbak, Mbaknya lagi
nunggu siapa?” katanya, ia melihatku sendiri sendari tadi. Mungkin pikirnya aku
sedang menunggu teman.
“Aku sendiri, Mbak.”
“Oh dikirain lagi
nungguin teman. Mbak udah biasa kemana-mana sendiri di sini?” katanya. Betul
dugaanku tadi.
“Ngga mbak, aku baru
tiga minggu di sini, hehe.” Jawabku sembari tertawa kecil. Kami berbincang-bincang
sangat lama seperti sudah kenal lama. Kami mengenal satu sama lain, bertukar
username instagram dan menikmati event bersama.
Ditengah keseruan
acara, kami berpisah karena sudah larut malam. Aku bergegas pulang karena jika
semakin larut aku semakin kehilangan arah pulang. Betul saja, jalan di
Malioboro sudah ditutup dan aku harus puter arah untuk bisa pulang.
Waktu begitu cepat
berlalu, ucap seluruh manusia di bumi. Kata-kata itu sangat tidak asing, hampir
semua orang selalu mengatakan itu jika waktunya terbatas. Tak rela meninggalkan
Agustus pun tak rela akan meninggalkan Jogja dengan cepat. Apapun itu, aku
tetap berharap bulan-bulan berikutnya dapat hidup dengan damai dan tentram, meski
perpisahan itu pasti ada.
Komentar
Posting Komentar