Berlayar Tanpa Peta
Kala itu ada sebuah kenyataan yang sangat aku takuti, hal yang rasanya tidak sanggup bila akan terjadi, dan semesta ternyata malah sengaja mendatangkan hukum alam. Aku menjalani kehidupan ini persis seperti yang aku takuti dulu. Tiba saatnya dimana kamu benar-benar tidak peduli. Asing yang sangat asing sekali. Orang lain pernah berkata di atas langit masih ada langit. Mungkin ini sama halnya dengan di atas asing masih ada asing, sepertinya begitu.
Dulu, kau adalah hal yang paling kunantikan setiap pagi. Bertemu senyummu, bergurau, bahkan berbincang tentang hal yang sangat tidak penting, "Kenapa bebek kakinya dua?" kalau dipikir-pikir lucu sekali membahas seperti itu. Tapi, kamu perlu tau, hal yang tidak penting menjadi sangat berarti ketika sedang denganmu.
Entah kenapa kisah itu tiba-tiba usai, bahkan aku sendiri tidak tahu hal apa yang membuat kita usai sampai benar-benar menjadi teman biasa. Mungkin semesta punya rencana lain yang akan membuat kita bersatu lagi atau mungkin semesta tidak mengizinkan kita untuk bersama lagi. Aku tidak tahu namun ini rumit sekali.
Kalau seperti ini adanya, aku tidak akan pernah mau kenal denganmu. Seandainya saja kita tidak pernah bertemu, pasti saat ini aku akan baik-baik saja dan kau akan lebih bahagia di sana.
"Perpisahan itu campur tangan bersama. Jika kamu menyalahkannya karna sikap abai, lantas kamu? Siapa suruh memulai dengan sebuah perasaan. Dia sudah pernah bilang, cukup berteman saja, ngeyel si." Katanya sambil membereskan buku-buku.
Terdiam sejenak, "Bukannya dia yang memulai perasaan itu? Aku biasa saja An." Sahutku yang ingin meluruskan maksud dari perkataan An tadi.
"Memang laki-laki seperti itu, Bel. Aku kan sudah pernah bilang, hati-hati jika hatimu belum siap." Bantahnya dengan wajah ketus.
"Mungkin sesekali aku harus punya kesibukan lain." Dengan semangat, aku mencari kegiatan di media sosial, "Aku ingin bergabung kepanitiaan kampus, An. Yuk, An." Ambisiku sangat tinggi saat menemukan kegiatan yang cocok untuk menyikirkan hal-hal tentangnya.
Anita adalah seorang wanita yang sangat tegar dan pandai, dia menjadi orang pertama saatku membutuhkannya. Banyak lelaki yang menyukainya, siapa yang tidak mau dengan wanita cantik seperti permadani ini, aku saja setiap melihat wajahnya selalu terpukau. Anita mengikuti organisasi di Program Studinya, namun ia tidak pernah menolak permintaanku untuk mengikuti kegiatan lain. Menurutnya, selagi kegiatan itu baik, mengapa harus ia tolak. Ada kalanya ia menjadi seorang ibu untukku, namun ada diwaktu-waktu tertentu aku yang menjadi seorang ibu untuknya. Kita saling melengkapi satu sama lain, hubungan pertemanan yang sangat baik dan terkesan.
"Bel, aku mau bertemu dengan Rian. Tolong beritahu aku kalau Kakakku datang ke kost-an" Pintanya melalui WhatsApp.
Aku sungguh tidak tahu bagaimana kehidupan Anita, ia menasehatiku sebaik mungkin. Namun dia juga selalu bermasalah dalam urusan asmaranya. Ah sudahlah tidak perlu berpikir lebih jauh, lagi pula urusanku pun belum selesai.
Pagi ini, aku harus pergi ke kampus untuk mengambil berkas dari Pak Ridwan. Pekan terakhir, aku ingin sekali berteriak, aku lelah dengan semua pekerjaan dan tugas-tugas yang hampir setiap hari ada. Aku ingin berhenti, namun sudah dipertengahan jalan dan aku ingin melihat senyum orang tuaku yang sudah mulai terlihat. Jadi, mau tidak mau aku harus menyelesaikan tanggungjawabku.
Pertengahan perjalanan menuju kampus, ada motor hitam yang mendekatiku, ia berhenti tepat didepanku.
"Bel, mau bareng?" Ajak lelaki berjaket hitam.
"Boleh deh, gapapa nih? Nanti Sindi marah tidak? Tanyaku dengan sedikit kekhawatiran akan perang dunia ke 2 dalam hubungan mereka.
"Tenang saja, lagi pula aku dan Sindi sudah tidak bersama lagi." Jelasnya.
"Oke deh." Jawabku yang sangat acuh. Dalam hati, aku ingin sekali bertanya mengapa mereka berakhir, namun tidak cocok jika bertanya diwaktu pagi, takut merusak mood.
Setelah kelas selesai aku langsung pergi ke ruangan dosen untuk mengambil berkas minggu lalu. Rasanya, aku ingin sekali joki tugas. Berkas Pak Ridwan sudah ditanganku, aku harus segera menyelesaikan ini agar tugasku tidak semakin banyak. Laporan ini selalu aku hindari setelah mengikuti kegiatan kampus, tapi aku bingung dengan diriku sendiri, aku terus mengulang hal yang diriku tidak suka. Kali ini, aku sangat tidak fokus mengerjakan laporan, pikiranku selalu tertuju pada Hadi. Hal-hal yang tidak penting selalu muncul dibenakku seperti, mengapa mereka putus?
"Hai!" Sapa Hadi. Ia duduk disampingku.
"Hai, Di" balasku dengan senyum. Aku sangat gugup berada disampingnya, kegugupanku diterlihat oleh Hadi saat aku menumpahkan minumanku.
"Eh gapapa, biar ku beresi saja, Bel" ucapnya.
Aku menghela nafas dalam, berusaha menenangkan diri. Aku tidak membiarkan dia membersihkan bekas minumanku sendiri, aku ikut membantu. Rasanya sungguh tidak bisa dibiarkan jika terus berada disampingnya, aku sangat gugup dan semakin tidak bisa mengerjakan laporan. Ya Tuhan, ada apa dengan diriku.
"Laporan Pak Ridwan?" Tanyanya, sembari membuka berkasku.
"Eh, iya." Jawabku, dengan reflek merebut berkas yang Hadi baca.
"Kamu kenapa Bel? aku ga akan nyontek kok. Lagian laporanku sudah selesai seminggu yang lalu." Jelasnya, meluruskan hal yang takut disalah pahami.
"Oh tidak apa kok, Di. Sorry ya, tadi aku reflek merebut soalnya harus segera kuselesaikan laporan ini." Jawabku. Kali ini aku berbohong. Tidak apa. Maaf Tuhan.
"Ku bantu Bel, biar cepat selesai."
"Ini sudah selesai kok, Di. Sudah." lagi-lagi aku berbohong Tuhan, maaf maaf.
Aku merapihkan berkas dan memasukan laptop ke dalam tas.
"Aku pulang duluan, Di."
"Loh cepat sekali Bel, baru aku mau ngobrol sama kamu. Mau diantar?"
"Next time lagi ya, Aku dijemput Anita kok. Bye, Di."
Diperjalanan aku selalu memikirkan kebodohan yang baru saja aku lakukan didepan Hadi. Aku merespon kegugupanku, aku tahu mengapa aku gugup, aku tahu mengapa detak jantungku kencang saat dekat dengannya. Aku tahu, namun aku ingin melihat seberapa jauh yang kurasakan ini kepada Hadi.
Komentar
Posting Komentar