Sinopsis Buku I Jiwa-Jiwa Yang Mencipta (Rudolf Puspa, Sitras Anjilin, Ni Luh Menek)
Jiwa-Jiwa Yang Mencipta
(Rudolf Puspa, Sitras Anjilin, Ni
Luh Menek)
Penerbit Buku Kompas, 2021
Buku yang berjudul Jiwa-Jiwa Yang Mencipta adalah buku yang membahas mengenai kesenian dan kebudayaan. Buku ini ditulis berdasarkan sudut pandang dari tiga tokoh seniman Indonesia yaitu Rudolf Puspa, Sitras Anjilin, dan Ni Luh Menek. Sudut pandang dari ketiga tokoh tersebut menjadi daya tarik pembaca untuk membaca buku Jiwa-Jiwa Yang Mecipta, dalam buku ini tidak hanya membahas mengenai kesenian daerah, namun menceritakan bagaimana awal mula seniman menyukai kesenian dan menekuni hingga menjadi sebuah kebudayaan di daerah-daerah tertentu.
Dusun
Tutup Ngisor merupakan salah satu dusun adanya Padepokan Tjipta Boedaya.
Padepokan Tjipta Boedaya adalah sanggar kebudayaan yang hadir pada awal pengenalan
kebudayaan di daerah Jawa, khususnya Jawa Tengah. Dusun Tutup Ngisor berada di
Kabupaten Magelang, keberadaaannya tidak bisa dipisahkan dari lokasi geografisnya
di Kaki Gunung Merapi. Padepokan Tjipta Boedaya berada di tengah dusun di
antara rumah-ruman penduduk. Padepokan ini berdiri sejak tahun 1937 atas praksara
Romo Yoso Soedarmo (alm). Padepokan Tjipta Boedaya menjadi pusat segala
kegiatan seni tradisi jawa, dimulai dari kegiatan ritual rutin Suran, Pentas
seni untuk memperingati Maulid Nabi Muhammad, dan pementasan seni seperti kuda
lumping, ketoprak, wayang wong, grasak, wayang topeng, jalantur dan gangsir
ngenthir.
Sitras
Anjilin adalah salah satu seniman yang dikenal luas di kalangan seniman tari.
Sitras mewarisi bakat tari dari ayahnya Romo Yoso Soedarmo (alm). Semasa
kepemimpinan Sitras Padepokan Tjipta Boedaya desa tutup ngisur menjadi pusat
aktivitas budaya yang sering digelar oleh komunitas lima gunung (KLG: Gunung
Merapi, Merbabu, Sumbing, Andong, dan Menoreh). Komunitas tersebut adalah
komunitas warga desa penduduk lereng gunung yang mata pencahariannya adalah
petani sayur, dalam kaitannya dengan pementasan seni warga setempat sangat antusias
dan berekspresif. Mereka yang menciptakan moment para seniman tradisional
berkum[ul dan berekspresi bersama dengan gerak, kostum, an tembang yang
beragam.
Rudolf
Puspa adalah seniman yang bergelut di bidang teater. Ia pendiri sekaligus
sutradara teater keliling sejak tahun 1974, kini ia hanya fokus pada kerja
penyutradaraan dan artistic bersama Dery Syrna. Mereka mulai keliling Indonesia
pada Juni 1974. Teater keliling booming di
Indonesia pada masa orde baru, tahun 1970 an namun belum pentas di Ibu Kota. Saat
tahun 1979, mereka untuk pertama kalinya main di Taman Ismail Marzuki (TIM)
menampilkan dua lakon drama yaitu Jing Jong
dan Wayang. Dalam penampilan kedua lakon tersebut, mereka
mendapatkan kritik tajam saat pentas di Yogyakarta, salah satu penonton Elma Ainiun
Nadjib menyebut bahwa Jing Jong adalah
karya yang datar. Dari kritikan tersebut Rudi tak henti menulis naskah dan
mereka masih tetap pentas di beberapa daerah. Berkat kegigihannya beserta tim,
teater keliling berhasil pentas di tiap kota yang ada di Indonesia sampai
dengan tampil luar negeri.
Ni
Luh Menek adalah seniman yang mendalami kesenian di dunia tari. Ni Luh Menek
lahir pada tahun 1939 di Desa Jagaraga, Kabupaten Buleleng, Bali. Selama
menjadi penari ia memenangkan banyak penghargaan, salah satunya penghargaan 35
tahun bentara budaya 2017. Menurutnya “Menari
itu selalu ada dalam hidup saya, tidak pernah putus.” Banyak penonton yang
tidak menyangka penari yang membawakan tarian Teruna Jaya adalah perempuan
berusia 78 tahun. Hal tersebut menggambarkan bahwa jika jiwa dan raganya sudah
mencintai seni, semangat dalam berseni tidak memandang usia berapapun.
Buku
Jiwa-Jiwa Yang Mencipta adalah buku yang sangat bermanfaat bagi pelajar maupun
pendidik untuk memberikan wawasan mengenai tokoh seniman di Indonesia. Buku ini
disusun dengan bahasa yang lugas, sehingga mudah dipahami oleh pembaca. Cover
buku yang digunakan menarik perhatian pembaca karena ada maksud yang tersirat
dari kata “Jiwa-Jiwa Yang Mencipta” sehingga muncul keingintahuan mengenai isi
dari buku tersebut.
Selain
membahas mengenai kehidupan dari ketiga tokoh dalam menekuni bidang kesenian,
buku ini memberi gambaran mengenai kebudayaan saat ini. Kebudayaan adalah suatu kondisi yang dinamis,
maka pilihan sikap yang semestinya dilakukan adalah keterlibatan bukan apresiatif.
Dalam arti ini menurut Dahana (2009), obligasi pemerintahan dapat melengkapi proses
dengan infrastruktur yang memumpuni, apresiasi yang sepadan, atau bahkan dapat terlibat secara langsung dari semua tahap proses itu. Tidak hanya
membuka pameran, menampilan pentas seni namun turut berekspresi menggunakan
kekayaan simbolil yang dihasilkan dari kerja-kerja kebudayaan.
Komentar
Posting Komentar